Indonesia sedang menyiapkan kebijakan baru di sektor energi dengan rencana penerapan bahan bakar campuran bensin dan etanol sebanyak 10 persen, atau yang disebut E10. Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dan memperkuat ketahanan energi nasional. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal seperti tebu dan singkong, kebijakan ini juga diharapkan dapat membuka peluang ekonomi baru di sektor pertanian dan energi terbarukan.
Etanol dikenal sebagai bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dibandingkan bensin murni karena menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah saat proses pembakaran. Penggunaannya dapat membantu mengurangi polusi udara dan mendukung target transisi menuju energi hijau. Selain itu, negara-negara seperti Brazil dan Amerika Serikat telah membuktikan keberhasilan program serupa dalam menekan emisi dan memperluas sumber energi domestik.
Namun, di balik manfaat tersebut, ada sejumlah tantangan dan potensi dampak negatif yang perlu diperhatikan sebelum kebijakan ini diterapkan secara luas. Salah satu persoalan utama adalah sifat etanol yang bersifat korosif terhadap komponen logam di dalam mesin kendaraan. Jika tidak diimbangi dengan penyesuaian teknologi, pencampuran etanol dapat mempercepat keausan mesin, terutama pada kendaraan lama yang belum dirancang untuk bahan bakar campuran. Dalam jangka panjang, hal ini bisa meningkatkan biaya perawatan kendaraan bagi masyarakat.
Selain itu, efisiensi bahan bakar pada campuran etanol umumnya lebih rendah dibandingkan bensin murni. Artinya, kendaraan yang menggunakan E10 mungkin akan menempuh jarak yang sedikit lebih pendek dengan jumlah bahan bakar yang sama. Bagi konsumen, hal ini bisa menimbulkan persepsi bahwa penggunaan bahan bakar campuran tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Jika harga jual E10 tidak diatur dengan baik, masyarakat bisa menilai kebijakan ini justru merugikan secara ekonomi.
Dari sisi lingkungan, produksi etanol dalam skala besar juga memiliki risiko tersendiri. Peningkatan kebutuhan bahan baku seperti tebu atau singkong bisa mendorong perluasan lahan pertanian dan berpotensi mengancam kawasan hutan. Bila tidak diawasi dengan baik, ekspansi lahan ini dapat menimbulkan deforestasi, mengurangi keanekaragaman hayati, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca dari pembukaan lahan. Selain itu, penggunaan air untuk proses produksi etanol juga bisa menimbulkan tekanan terhadap sumber daya air di wilayah pertanian.
Secara sosial, peningkatan permintaan terhadap bahan baku etanol bisa memengaruhi keseimbangan pangan nasional. Jika lahan subur lebih banyak digunakan untuk tanaman energi daripada tanaman pangan, maka pasokan bahan makanan dapat terganggu. Dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa menimbulkan ketimpangan antara sektor energi dan sektor pangan, terutama di daerah pedesaan. Oleh karena itu, pengawasan dan regulasi yang ketat perlu diterapkan agar kebijakan energi tidak menimbulkan konflik sosial baru di masyarakat.
Untuk memastikan keberhasilan program E10, diperlukan kesiapan di berbagai sektor, mulai dari infrastruktur distribusi, kapasitas produksi etanol dalam negeri, hingga sosialisasi kepada masyarakat. Pengawasan kualitas campuran bahan bakar juga menjadi hal penting agar tidak merugikan konsumen. Jika seluruh aspek tersebut diperhatikan dengan baik, kebijakan bensin campur etanol dapat menjadi langkah nyata menuju kemandirian energi sekaligus pengurangan emisi karbon.
Apabila dijalankan tanpa perencanaan matang, kebijakan ini berpotensi menimbulkan persoalan baru, baik dari segi teknis, ekonomi, maupun sosial. Sehingga, implementasi program E10 sebaiknya dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kesiapan industri otomotif, petani, dan masyarakat pengguna bahan bakar. Pendekatan yang hati-hati dan transparan akan menjadi kunci agar transisi menuju energi bersih benar-benar membawa manfaat bagi semua pihak.