Togi Gultom - Law FirmTogi Gultom - Law Firm
Articles
Home / Articles / E-Commerce Indonesia Tumbuh Pesat, Regulasi Didorong Agar Tak Tertinggal

E-Commerce Indonesia Tumbuh Pesat, Regulasi Didorong Agar Tak Tertinggal

Nilai pasar e-commerce Indonesia terus menunjukkan angka yang menjanjikan. Pada tahun 2024, industri e-commerce nasional tercatat berada di kisaran USD 354,6 miliar, dengan proyeksi tumbuh hingga sekitar USD 760,8 miliar pada 2033. Pertumbuhan ini didorong oleh penetrasi smartphone yang tinggi, meningkatnya transaksi digital, dan daya beli masyarakat muda yang semakin aktif belanja online. Namun, skala pertumbuhan ini juga menuntut regulasi yang lebih adaptif agar persaingan usaha dan perlindungan konsumen tetap terjaga.

Meski tumbuh pesat, pelaku industri e-commerce menghadapi tantangan serius dalam hal persaingan usaha yang sehat. Integrasi layanan di platform besar seperti pembayaran digital, logistik internal, dan pembiayaan mulai mendominasi lanskap bisnis daring, dan hal ini berpotensi menimbulkan praktik monopoli atau persaingan tidak sehat. Regulasi persaingan yang ada belum sepenuhnya disiapkan untuk menghadapi kompleksitas bisnis e-commerce modern. Dengan struktur bisnis yang semakin terkonsolidasi, platform kecil dan pelaku UKM menghadapi kerugian kompetitif.

Regulator nasional menyadari bahwa kerangka hukum e-commerce perlu diperbaharui agar relevan dengan kondisi teknologi yang cepat berubah. Misalnya, aturan terkait perdagangan melalui sistem elektronik atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia kini telah diatur dalam regulasi yang lebih ketat. Pembaruan regulasi ini mencakup kewajiban lisensi bagi platform social commerce, standar produk, dan larangan manipulasi harga. Tanpa revisi regulasi yang tepat, industri e-commerce bisa kehilangan momentum dan kepercayaan publik terhadap sistem digital.

Di sisi lain, skenario pertumbuhan yang cepat menimbulkan risiko tersendiri, khususnya dalam hal logistik, keamanan data, dan kapasitas sumber daya manusia. Analisis menunjukan bahwa pelaku e-commerce harus menjaga kepercayaan konsumen melalui layanan pengiriman yang efisien dan pembayaran yang aman. Jika demikian tidak terkelola dengan baik, maka efektivitas pertumbuhan akan terhambat oleh keluhan konsumen, penipuan online, atau kelemahan sistem. Kondisi ini tentu menjadi tantangan tambahan bagi regulasi persaingan yang harus memastikan semua pelaku bertanding di arena yang adil.

Meskipun regulasi masih dalam proses penyesuaian, industri e-commerce tetap diyakini memiliki potensi besar untuk menjadi pilar ekonomi digital Indonesia. Peningkatan akses internet hingga ke wilayah 3T, adopsi pembayaran digital, dan pelibatan UMKM dalam platform daring membuka ruang besar bagi ekspansi dan inklusi ekonomi. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut secara optimal, isu persaingan usaha dan regulasi yang adaptif harus menjadi prioritas. Tanpa itu, rahasia di balik angka pertumbuhan bisa menjadi ketidakberlanjutan.

Agar pasar e-commerce tumbuh sehat dan berkelanjutan, diperlukan sinergi antara pemerintah, regulator, pelaku usaha besar, dan pelaku UKM. Pemerintah harus memperkuat kerangka pengawasan, revisi regulasi agar sesuai dengan tren digital, dan memastikan persaingan usaha tetap terbuka bagi semua pihak. Regulator perlu memastikan bahwa dominasi platform besar tidak menghambat inovasi pelaku baru dan tidak memberatkan konsumen. Jika sinergi ini tercapai, maka pertumbuhan e-commerce Indonesia bukan hanya angka besar, tetapi fondasi kuat bagi pengembangan ekonomi nasional.